Jose Mourinho, Rahmad Dharmawan, dan Ahmad Bustomi di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Selasa (23/7/2013). |
Semua atas nama penggemar, padahal kita tahu, semua dilakukan atas nama laba, brand image dan kepentingan ekonomi lain.
Dengan sekitar 250 juta penduduk yang sebagian besar menggilai sepak bola, Indonesia jelas menjadi sasaran empuk klub-klub yang selama ini hanya bisa dinikmati aksinya lewat layar kaca. Angka statistik jumlah penggemar menjadi legitimasi klub-klub ini untuk menggelar pentasnya di Indonesia.
Situasi ini tidak bertepuk sebelah tangan karena di Indonesia sendiri, promotor berlomba-lomba mendatangkan klub-klub atau setidaknya bintang-bintang sepak bola Eropa tersebut. Siapa tak tergiur melihat potensi laba yang bisa didapat dari hasil mendatangkan idola-idola tersebut? Mendatangkan klub-klub dengan basis massa besar seperti Internazionale, Arsenal, Chelsea dan Liverpool tentu menjanjikan penjualan tiket yang mengesankan bukan?
Pertandingan akal-akalan pun kemudian digelar. Dengan menyematkan label All-Stars, Dream Team, Selection atau Indonesia XI, tim yang bermaterikan pemain-pemain tim nasional pun diadu dengan bintang-bintang dari negeri nun jauh di sana tersebut. Karena memang kalah kelas, tim kita kemudian kalah. Sering kali dengan skor telak, seperti yang terjadi di pertandingan melawan Arsenal, hari Minggu (14/7) lalu. Saat itu Indonesia yang diisi pemain timnas kalah 0-7.
Meski begitu, semua bersorak. Tak masalah tim Indonesia kalah, asalkan bisa menyaksikan idola-idola dari Eropa berlaga di depan mata. Apresiasi sekadarnya diberikan. Tim Indonesia sudah mengeluarkan kemampuan terbaiknya bla, bla, bla. Lalu kemudian, ketika pujian palsu dilontarkan dari kubu tamu, hati kita dengan mudah terpuaskan. Kata mereka, kita punya potensi, kita punya masa depan cerah dan semacamnya.
Iya, memang. Lantas apa?
Setelah para tamu yang dipuja itu pergi, keadaan kembali normal. Tidak ada bekas konkret yang benar-benar mereka tinggalkan. Semuanya semu.
Memang betul pemain-pemain kita bisa mendapat pengalaman. Pun demikian dengan para penggemar yang terpuaskan dahaganya. Tapi sepak bola kita dapat apa? Apakah pengalaman seperti itu yang dibutuhkan para pemain kita? Apakah sorak-sorai macam itu yang benar-benar dirindukan?
Rasanya tidak.
Sepak bola kita tidak membutuhkan pertandingan-pertandingan macam itu. Bayangkan, pemain-pemain kita dikirim ke medan perang palsu untuk kemudian dibantai, dicerca, dan ditertawakan? Apa yang didapat sepak bola kita dari laga konyol semacam itu? Sesekali silakan, tapi untuk terus-menerus seperti itu, apa artinya?
Mengapa tim nasional kita tidak dihadapkan saja pada tim dari negara-negara yang kekuatannya seimbang dengan kita? Tentunya, masukkan itu ke agenda resmi FIFA. Dalam satu tahun kompetisi, ada 12-13 agenda FIFA untuk laga tim nasional, baik itu kualifikasi turnamen konfederasi, Piala Dunia, maupun ajang ujicoba. Berapa banyak yang kita gunakan? Nyaris tidak pernah.
Kemarin kita memang sempat menghadapi Belanda di ajang ujicoba resmi, tetapi pertandingan melawan Belanda itupun esensinya nyaris sama dengan pertandingan melawan klub-klub Eropa. Mereka datang ke sini sebagai idola. Tidak ada pelajaran berarti yang bisa kita petik dari sana karena sudah jelas terlihat bahwa memang kita kalah kelas dan hampir tidak mungkin menang. Analisis model apa pun akan sia-sia untuk mengevaluasi tim nasional kita kalau lawan yang dihadapi seperti itu.
Seandainya kita bertanding melawan negara-negara yang sama buruknya dengan kita, baru di situ akan terlihat apa saja yang menjadi kelebihan dan kekurangan kita. Tapi sudahlah, toh mereka yang berwenang mengurusi ini semua tetap akan bergeming.
Bagi mereka, untuk apa kita bertanding melawan Tahiti, Kaledonia Baru, Liechstenstein, Kanada, atau semacamnya? Tidak menguntungkan! Tidak ada nama besar yang bisa dijual! Tiket tidak akan laku!
Semua serba mendadak, semuanya dilakukan tanpa perencanaan matang, dan semuanya tidak mendatangkan manfaat nyata. Jadwal liga dibuat seenak perut mereka yang punya liga. Jadwal berlaga tim nasional menjadi korban.
Sekarang, di sela-sela kompetisi pun, para pemain itu dipaksa untuk meladeni tamu-tamu yang hanya akan menertawakan kita di kamar hotel dan pesawatnya seusai mempermalukan kita. Untuk manfaat nyata, semua bilang tidak menguntungkan. Untuk semata urusan uang, tiba-tiba semua terlihat serius.
Sebetulnya, kedatangan tim-tim serta bintang-bintang dari Eropa itu tidak akan terlalu bermasalah asalkan tim nasional tidak terkebiri oleh kebodohan dan ketidakpedulian pengurus sepak bola kita. Kita selalu mengeluh tatkala FIFA merilis daftar peringkat tim nasional terbaru dan mendapati peringkat kita terus melorot, tetapi solusi konkret atas permasalahan ini tidak pernah ter(di)realisasikan.
Ini sama saja mengeluh lapar tetapi malas mencari makan.
Secara berkala, FIFA terus mengingatkan semua tim nasional di dunia ini untuk berbenah. Peringkat FIFA memang bukan segalanya, tetapi itu adalah cerminan apa yang sudah diraih persepakbolaan suatu negara. Di rilisan peringkat FIFA terakhir, Skotlandia bisa melonjak naik 24 tingkat ke peringkat 50 karena mereka serius berbenah. Kita tetap ada di peringkat 168 karena merasa sudah hebat dan hanya layak berlaga melawan bintang-bintang dari Eropa itu. Luar biasa sekali.
Kita harusnya ingat. Juara Piala AFF sekali pun kita belum pernah. Prestasi terbaik tim nasional kita dalam 10 tahun terakhir hanya mengalahkan Bahrain 2-1 di Piala Asia 2007, tetapi dengan itu pun kita gagal lolos dari fase grup lantaran kalah dari Arab Saudi dan Korea Selatan.
Sekarang, lolos ke Piala Asia saja kita kesulitan. Sebagai perbandingan, Jepang, tim terbaik Asia saja, belum ada apa-apanya di tingkat dunia meskipun mereka sempat merepotkan Italia di Piala Konfederasi lalu.
Untuk mendekati Jepang saja rasanya waktu 10 tahun tidak akan cukup bagi kita. Ah, jangankan Jepang. Menahan laju Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, bahkan Timor Leste saja kita kelabakan. Lalu dengan situasi ini kita masih lebih memprioritaskan untuk menghadapi tim-tim Eropa yang semata-mata pamer kekuatan?
Ini semua soal prioritas. Kita harus lebih jeli memilah mana yang benar-benar penting dan mana yang bisa dikesampingkan. Muara terakhir persepakbolaan suatu negara adalah tim nasional. Sekarang untuk apa melakoni kompetisi kalau kualitas tim nasional tidak pernah diuji secara berkala? Alih-alih diuji dan dievaluasi, tim nasional kita, dengan label apa pun, pada akhirnya hanya diumpankan pada singa-singa lapar nan arogan dari Eropa.
Kita memang memiliki potensi. Siapa pun punya potensi. Tetapi apa artinya potensi tanpa realisasi? (Yoga Cholandha) Bagaimana Menarikkan Article Pada Hari Ini . BLUE.Jangan Lupa Datang Lagi Untuk Membaca Article Yang lebih Menarik Pada Masa Akan Datang/
Posting Komentar